Minggu, 28 Februari 2010

Sejarah TTKKDH (eps-1)

Penca Cimande

Penelusuran awal kelahiran ilmu silat (selanjutnya di sebut penca) Cimande di Tatar Sunda masih dilingkupi misteri. Ini terjadi karena informasi peristiwa tersebut nyaris tidak ada. Artinya informasi kepastian waktu lahirnya tidak ada, yang ada adalah informasi-informasi yang bersifat oral history yang terdiri dari berbagai versi pula.


Bahkan yang menarik adalah di kalangan warga Cimande (sebutan bagi mereka yang telah menjadi murid ataupun para penerus aliran silat ini) sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang sosok pencipta aliran penca ini. Ada yang menafsirkan bahwa sosok Ayah Kahir atau Abah Kahir atau Embah Kohir adalah seorang laki-laki (sebagaimana umumnya pengertian jawara, jagoan, pendekar dan sebagainya yang cenderung memilih laki-laki sebagai gendernya) dan ada pula yang mengisahkan beliau adalah seorang wanita yang disebut Mbah Khaer. Tetapi uniknya mereka semua menginduk kepada sang pencipta penca Cimande yang telah dimakamkan di Tanah Sereal Kabupaten Bogor. Setidaknya pada penelitian ini ada 3 versi tentang awal mula lahirnya Cimande. Adapun versi-versi tersebut sebagi berikut :


Versi Gending Raspuzi (Pikiran Rakyat, 2002 : 17). Riwayat sebelum mendirikan sebuah perguruan bernama Penca Cimande, Ayah Kahir pernah tinggal dan mengajarkan ilmunya di kota Kabupaten Cianjur. Di kota ini pada tahun 1770 ia menikahi seorang wanita setempat (nama ?) dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Cianjur. Di kampung ini pula Ayah Kahir mengajarkan maenpo atau penca kepada para pemuda setempat.


Ketenarannya sebagai guru penca menyebabkan bupati Cianjur Aria Wiratanudatar IV atau Dalem Cikundul (1776-1813) memintanya untuk mengajarkan maenpo kepada putera-putera bupati, pegawai kabupaten dan para petugas keamanan. Tahun 1815, Ayah Kahir ke Bogor dan menetap di Kampung Tarikolot, Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Di Bogor ini pula ia meninggal dunia pada tahun 1825.


Versi Ensiklopedi Sunda (2000 : 217). Abah Kohir adalah perintis dan penyebar Penca Cimande di Tatar Sunda pada abad XVIII. Beliau dikabarkan berasal dari Kampung Talaga di Majalengka kemudian pindah dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur.


Sebelum dikenal sebagai guru silat, Abah Kohir atau Embah Kohir terkenal sebagai ahli kebatinan di kota Kabupaten Cianjur. Kepandaiannya bermain penca diketahui melalui adu laga dengan seorang Cina yang berasal dari Makao yang mahir beladiri Kuntao (salah satu jenis beladiri yang berasal dari dataran Tiongkok).


Dikisahkan bahwa pada suatu hari ada orang Cina yang melanggar ketertiban umum, maka ia kemudian ditangkap oleh petugas Kabupaten Cianjur. Dalam penangkapan itu, orang Cina tersebut melakukan perlawanan, melecehkan petugas dan menantang adu laga dengan siapa saja. Pada waktu itu petugas keamanan kewalahan dan tidak bisa berbuat banyak.


Ayah Kohir atau Embah Kohir kemudian diminta oleh bupati Cianjur untuk meladeni tantangan orang Cina tersebut sekaligus menangkapnya. Ayah Kohir menyanggupi permintaan bupati, maka dilakukanlah pertarungan di alun-alun kabupaten disaksikan oleh bupati dan masyarakat kota Cianjur. Dalam pertarungan itu, Ayah Kohir dapat mengalahkan orang Cina tersebut dan menyerahkannya kepada bupati. Melihat keberhasilan itu, bupati kemudian meminta Ayah Kohir untuk melatih penca para petugas keamanan Kabupaten Cianjur.


Dikisahkan selanjutnya, beberapa waktu kemudian (?) di Kabupaten Bogor sedang terjadi kerusuhan (?). Bupati Bogor (?) meminta kesediaan Ayah Kohir untuk membantu memadamkan dan menumpas perusuh. Atas persetujuan bupati Cianjur, Ayah Kohir kemudian ke Bogor dan kerusuhan dapat dipadamkan. Atas keberhasilan ini beliau kemudian diminta mengajarkan penca kepada para petugas keamanan. Selama di Bogor Ayah Kohir atau Embah Kohir bermukim di kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande, di sana ia mengajarkan penca kepada masyarakat umum dan mendirikan perguruan Cimande. Perguruan kemudian diserahkan kepada keturunannya (?) dan ilmu silat ini kemudian tersebar. Ayah Kohir kemudian pindah dari Kampung Tarikolot ke kota Kabupaten Bogor ke suatu tempat bernama Tanah Sereal dimana akhirnya beliau meninggal dunia di sana.


Versi Agus Suganda (wawancara tanggal 10 Juli 2002) mengungkapkan kisah penemuan jurus tersebut. Mbah Khaer (sebutan lain Ayah Kahir) pada suatu waktu di subuh hari hendak mencuci beras sekaligus berwudlu ke sebuah talang (saluran air) di sisi Sungai Cimende. Ia berbekal sebuah boboko berisi beras (wadah tempat mencuci beras) dan sebuah lampu/pelita untuk menerangi perjalannya ke talang tersebut. Sesampai di dekat talang, ia melihat suatu pemadangan aneh yang baru pertama kali dilihatnya. Di depannya sedang berlangsung pertarungan sengit 2 ekor hewan yaitu seekor harimau dengan seekor monyet. Dalam perlihatannya bagaimanapun harimau tersebut berusaha menekan sang monyet tetapi selalu berhasil dielakkan, demikian pula sang harimau selalu berhasil menangkis serangan gencar sang monyet. Kedua binatang ini tidak menyadari bahwa tingkah laku mereka sedang diperhatikan dengan seksama oleh seorang manusia. Hingga akhirnya pertarungan tersebut selesai tanpa menimbulkan luka berarti pada keduanya dan mereka kabur berlainan arah. Mbah Khaer segera mencuci berasnya dan setelah berwudlu ia cepat-cepat kembali ke rumah karena ia teringat bahwa suaminya selalu pulang pada pagi hari.


Dalam kisah ini Mbah Khaer diriwayatkan sebagai seorang wanita yang mempunyai tugas sebagaimana halnya seorang isteri yaitu mempersiapkan sarapan bagi suaminya. Sesampai di rumah ternyata sang suami telah menunggu dengan muka marah, dan tanpa bertanya apa-apa sang suami langsung menyerang isterinya. Sang suami adalah salah seorang jawara dikampung tersebut yang pekerjaannya pergi malam pulang pagi, sering mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan sang istri adalah seorang santri dan ibu rumah tangga.


Mendapat serangan tiba-tiba dari suaminya, Mbah Khaer spontan berkelit mengikuti gerakan monyet yang dilihatnya bertarung tadi. Penasaran dengan serangannya yang gagal kembali sang suami menyerang dengan pukulan dan tendangan. Mbah Khaer sambil menggendong boboko berisi beras terus berkelit menghindari serangan suaminya tanpa sekalipun membalas meskipun selalu ada kesempatan untuk itu. Apa yang dilihatnya di talang tadi ternyata memberi ilham baginya untuk menghindar dan menangkis serangan sang suami.


Sang suami akhirnya menghentikan serangannya karena kelelahan ditambah rasa penasaran akan kemampuan istrinya yang dapat dengan mudah menghindari semua serangan-serangannya. Padahal ia terkenal sebagai seorang jawara di tempat itu. Akhirnya ia mengaku takluk dan mengemukakan niat untuk mempelajari jurus-jurus tersebut kepada istrinya. Singkat cerita sang istri kemudian mengajarkan jurus-jurus tersebut dan sang suami adalah murid pertamanya.


Menurut Agus Suganda nama murid pertama Embah Khaer adalah Ayah Kholiah yang berarti juga adalah suaminya sendiri, nama ini terdapat dalam pertalekan Cimande pada urutan kedua setelah nama Mbah Khaer. Dan peristiwa tersebut berlangsung di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande Kabupaten Bogor


Dari ketiga versi di atas, tidak satupun yang memberikan informasi tentang awal mula (secara absolut) lahirnya Penca Cimande, meskipun ketiganya mendukung fakta bahwa Cimande dilahirkan di Kampung Tarikolot Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Namun demikian pada informasi dari versi Gending Raspuzi ada disebut angka tahun tentang perkawinan Ayah Kahir dengan wanita asal Cianjur yaitu tahun 1770 (Abad XVIII), kemudian Ayah Kahir pindah ke Kabupaten Bogor pada tahun 1815 dan mendirikan perguruan di Cimande di sana dimana ia kemudian meninggal pada tahun 1825. Ini mengisyaratkan bahwa waktu lahir Perguruan (Sunda = Paguron) Penca Cimande antara tahun 1815 sampai 1825, sehingga dapat ditarik suatu asumsi bahwa aliran penca Cimande ditemukan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan alasan bahwa sebuah karya selalu lahir dalam kurun waktu kehidupan penciptanya.


Sumber dari versi ketiga (Agus Suganda) juga tidak menyebut angka tahun bahkan kisahnya mengarah pada Oral History (penyampaian cerita/kisah dari mulut ke mulut) yang lebih bersifat dongeng dalam periwayatannya. Namun pada versi ini dapat dilihat pola penemuan jurus-jurus Cimande dalam keadaan tidak disengaja. Dalam teori Antropologi seperti yang dikemukakan oleh Dixon yang dikutip oleh Prof. Harsojo (1982 : 177-178) bahwa tipe penemuan seperti di atas disebut gejala discovery, yaitu suatu proses pra penemuan yang memenuhi 3 hal yaitu kesempatan, pengamatan, penilaian dan penghayalan. Disamping itu harus ada pula keinginan dan ada kebutuhan. Ketiga hal dalam gejala discovery ini terbentuk dalam kisah Mbah Khaer dalam menemukan jurus Cimande, yaitu adanya kesempatan yang tidak disengaja melihat pertarungan seekor Harimau dengan seekor Kera.


Dari pertarungan itu secara langsung (otomatis terjadi pengamatan) dimana Mbah Khaer terus memperhatikan pertarungan tersebut. Dalam hal penilaian dan penghayalan, bahwa manusia dianugrahi memori untuk mengingat kejadian yang berkesan baginya, ini kemudian keluar tanpa disadari (hal pertarungan tersebut) ketika Mbah Khaer diserang oleh suaminya, dan pada saat inilah keinginan mengelak atau menghindari serangan dari suaminya menjadi unsur kebutuhan Mbah Khaer.


Penemuan discovery ini juga disebut penemuan secara kebetulan, dan memang penuturan Agus Suganda tentang kisah Cimande berlangsung secara kebetulan, ini yang membedakannya dengan invention atau penemuan sebagai suatu hasil usaha yang sadar (Ibid : 177), sebab dari ketiga versi di atas tidak satupun yang mengemukakan bahwa Ayah Kahir atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer pernah berguru kepada suatu perguruan silat sebelumnya. Informasi dari Ensiklopedi Sunda bahwa Abah Kohir atau Embah Kohir sebelum dikenal sebagai guru penca, beliau adalah seorang ahli kebatinan. Dapat diinformasikan di sini bahwa untuk mengolah ilmu kebatinan tidak diperlukan latihan silat, bahkan dalam kisah-kisah penemuan ilmu-ilmu yang bersifat irrasional sering dilakukan sikap semedi (Jawa = tapa) dan olah nafas yang tidak memerlukan gerakan-gerakan silat.


Walaupun dimasa sekarang ada perguruan yang telah memadukan keduanya artinya dalam gerakan mengandung tenaga dalam atau tenaga inti. Tetapi untuk kasus Cimande, penggunaan tenaga dalam menjadi bagian tersendiri yang berfungsi sebagai penunjang gerakan silat. Itupun tidak dimiliki oleh semua murid Cimande tergantung pada kematangan dan kesiapan sang murid.


Meskipun keduanya berbeda dalam proses penemuannya, akan tetapi discovery dan invention memenuhi kriteria sebagai unsur-unsur kebudayaan yang pernah diketemukan untuk pertama kali dan dipergunakan untuk pertama kali di dalam masyarakat tertentu (Ibid:).


Dari ketiga versi di atas semuanya mengemukakan bahwa aliran silat (penca) Cimande ditemukan pertama kali dan dikembangkan oleh Ayah Kahir atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer, dan berlangsung pertama kali di Tatar Sunda atau di Tanah Pasundan dalam hal ini Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.