Selasa, 13 Desember 2011

Sejarah TTKKDH eps-2




Dalam perkembangan aliran penca Cimande yaitu setelah para murid menyelesaikan pendidikan di Bogor, mereka kemudian menyebar dan ada yang kembali ke daerah asal mereka masing-masing. Embah Buyah salah seorang murid Embah Main (dalam pertalekan berada di posisi 5 dan 6, tentang urutan ini lihat Bab IV) kemudian kembali ke Kampung Oteng di Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak, selanjutnya melakukan petualangan ke daerah Lampung Peristiwa ini diperkirakan berlangsung dalam tahun 1948.

Embah Buya yang orang asli Kabupaten Lebak, sebelum berguru kepada Embah Main berprofesi sebagai pedagang tembakau yang menjual dagangannya ke Karawang. Di Karawang Embah Buya kemudian menikah dengan wanita Karawang bernama Asten yang juga adalah murid Cimande Mbah Main atau dikalangan warga Cimande (sebutan bagi murid Cimande) disebut Ibu Asten (wawancara dengan Agus Suganda) atau Embah Dosol (wawancara dengan Bapak Husin dan Bapak Ahmad Fatoni). Embah Buyah menerima pendidikan penca Cimande dari Embah Main yang mendirikan pusat pelatihan di kebun jeruk beliau di sebelah hilir, dimana Embah Main memiliki 2 buah kebun jeruk satu di girang satunya di hilir. Sebutan girang dan hilir merujuk pada posisi suatu tempat yang berada pada posisi di atas dan di bawah. Jadi kebun jeruk hilir adalah menunjukkan letak kebun tersebut di posisi lebih rendah dari kebun jeruk lainnya.

Embah Buyah kemudian melanjutkan pengembangan penca Cimande di Lampung dengan membuka paguron yang menerima murid khusus orang-orang Jawa. Penerimaan murid dari kalangan orang Jawa dilatarbelakangi suatu kisah seperti yang dituturkan oleh Agus Suganda bahwa suatu waktu ada orang Melayu Lampung berniat berguru kepada beliau, ternyata kemudian si orang Melayu tersebut hanya ingin menguji kemampuan Embah Buyah. Embah Buyah tidak menyenangi hal itu sehingga beliau kemudian mengusir orang tersebut bahkan kemudian beliau menyatakan tidak akan mau menerima orang Melayu yang berasal dari Lampung.



Paguron Cimande Embah Buyah di Lampung kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir. Tampaknya Embah Buyah memberi nama paguronnya didasari tanda bakti beliau kepada pendiri dan guru penca beliau, dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah Khaer mendapatkan ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande, kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama tempat Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKKDH yang disebut pertalekan Cimande. Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulis bagi murid sekaligus penjaga nama baik bagi TTKKDH itu sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke Kampung Oteng dan mendirikan paguron TTKKDH di sana. Meski tidak diperoleh informasi kapan Embah Buyah meninggal dunia, namun TTKKDH terus berkembang sepeninggal beliau. Murid-muridnya meneruskan tradisi dan paguron TTKKDH dan sejak ditangani oleh Embah Ranggawulung nama TTKKDH melekat sampai sekarang pada perguruan silat Cimande ini.

Sumber lain memberikan informasi tentang TTKKDH adalah bahwa penamaan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir mengandung maksud semacam falsafah bagi setiap warga Cimande. Tjimande mengandung 2 pengertian yaitu kata Tji dalam bahasa Sunda berarti air dan mande berarti suci. Tari dikonotasikan dengan tanya atau pertanyaan. Kolot mengandung makna sesepuh atau orang yang dituakan ada juga yang mengartikan sebagai kata kesti atau membudayakan kebenaran. Kebon adalah suatu lahan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang halal atau bermakna wadah untuk mencapai keselamatan. Djeruk diartikan sesuai bentuk dan rasanya yaitu bentuk besar berarti manis, bulat berarti bersatu dalam satu wadah, dan kulitnya yang terasa pahit diartikan sebagai barang yang tidak bermanfaat. Hilir mengandung makna harus selalu merendahkan hati tidak sombong dan mengalah untuk menang, hilir yang berposisi di bawah juga diartikan sebagai tempat menampung apa saja kemudian disaring dan mengambil yang bermanfaat. Hilirpun juga diartikan penyelesaian masalah dengan musyawarah (Wawancara dengan A. Ridwan, tanggal 11 Juli 2002). Dari uraian di atas, maka Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir secara luas mempunyai pengertian: Dalam kehidupan selalulah berusaha mendapatkan sesuatu dari pekerjaan yang halal, dan jika menghadapi suatu masalah selesaikan dengan musyawarah atau meminta bimbingan kepada sesepuh atau orang yang mengerti permasalahan tersebut serta seyogyanya untuk selalu bantu-membantu (gotong royong) dalam melaksanakan kepentingan bersama. Pengertian di atas menempatkan TTKKDH sebagai alat pemersatu dengan misi utama (lihat pertalekan Bab IV) menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan individu maupun masyarakat.

TTKKDH juga memiliki ciri khas lain yaitu adanya prinsip “jika terpegang, kita memegang”. Paguron Cimande lainnya (disebut Cimande Girang) memilki prinsip lain yaitu “bila terpegang menyerang”. Prinsip TTKKDH lainnya adalah di setiap latihan selalu ada nyala lampu (pelita), ini dijadikan syarat pelatihan yang juga mengikuti perbuatan Embah Khaer ketika ia pegi ke tepi sungai Cimande. Oleh karena itu awal latihan Cimande bagi murid baru selalu dimulai pada malam hari terutama Kamis malam.

Jurus-jurus Penca Cimande dan TTKKDH
Dalam riwayat lahirnya Penca Cimande dikisahkan bahwa Embah Khaer mengadopsi gerakan tarung dua ekor binatang yaitu Harimau dan Kera. Menurut penuturan Agus Suganda, pada awal pelatihan atau sebelum terbentuknya TTKKDH belum ada istilah jurus-jurus Cimande, bahkan paguron resmi bernama Cimande pun belum ada, yang ada adalah jurus pamacan dan pamonyet yaitu pengembangan gerakan jurus serang-elak (istilah Agus Suganda timpa-buang) yang berasal dari tingkah kedua binatang tersebut.

Setelah terjadi perkembangan yaitu setelah masyarakat menerima penca Cimande ini, terjadilah persebaran ke seluruh Jawa Barat dan Banten kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Dari segi teknik, jurus-jurus Cimande ada yang mengalami perubahan baik berupa penambahan ataupun perampingan, namun demikian perubahan tersebut tidak sampai menghilangkan esensi jurus dalam Cimande.

Gending Raspuzi mengemukakan bahwa secara umum pola dasar Penca Cimande menggunakan sistem perkelahian jarak jauh, yaitu mengambil jarak sepanjang langkah kaki dan sejauh ujung tangan dari lawan. Kegunaannya adalah menghindari serangan lawan. Adapun secara garis besar teknik Penca Cimande terdiri dari buang kelid, jurus pepedangan, dan tepak selancar (PR, Loc.Cit).

Jurus buang kelid merupakan kumpulan teknik pertahanan yang dilanjutkan dengan serangan, maksudnya adalah diharapkan murid dapat menguasai beberapa teknik yang menjadi dasar pengembangan naluri manusia untuk membela diri. Pepedangan yaitu latihan penggunaan senjata dengan memakai sepotong bambu berukuran ± 40 cm atau disesuaikan dengan pemakainya, maksudnya adalah selain untuk belajar menguasai beragam jenis senjata juga melatih kelincahan kaki dalam melangkah maupun perubahan posisi kuda-kuda.

Adapun tepak selancar adalah aspek seni dalam Penca Cimande yang berupa ibing atau tarian yang diambil dari beberapa jurus buang kelid (Ibid). Adapun maksud tepak selancar ini adalah bahwa Penca Cimande tidak semata-mata mengajarkan ilmu bela diri tetapi juga sekaligus memperlihatkan aspek keindahan suatu seni bela diri melalui pertunjukan tarian Cimande.

Pada TTKKDH, jurus-jurus Cimande disusun secara berurut dengan jumlah gerak jurus 19 buah dan 1 jurus tanpa gerak atau “rahasia” atau aya wenangan (Agus Suganda).

Diantara kesembilan belas jurus TTKKDH tersebut adalah Kelid Gede, Kelid Leutik, Po Jero, Po Luar, Selut, Timpa Sebelah, Gojrok, Getrak Luhur, Getrak Handap, Kepretan, dan Guntingan. Adapun jurus ke duapuluh atau jurus rahasia tersebut disebut demikian karena sifatnya lebih mengarah kepada aspek kerohanian yaitu kematangan seorang murid Cimande menyebabkan ia mampu mengendalikan diri atau bersifat seperti padi. Artinya jurus terakhir ini dikembalikan kepada sang murid sendiri untuk mencapai dan mengolahnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Talek Cimande.

Perkembangan TTKKDH
Sejak didirikan pada tahun 1953, TTKKDH wilayah Kabupaten Lebak terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini. Kemudian meskipun tidak ada kepastian tentang jumlah muridnya, namun sepanjang pengamatan penulis baik ketika penulis masih berstatus sebagai tenaga SP3K di Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak (1995-1997) dan ketika penelitian ini laksanakan (2002), jumlah murid TTKKDH cenderung mengalami penambahan.

Hal ini terjadi karena TTKKDH memiliki pola perekrutan murid baru yang cukup unik yaitu pada saat acara keceran sering ditampilkan atraksi berupa ibingan atau igelan yaitu pergelaran tarian silat yang diiringi musik tradisional. Dan meskipun sederhana, alat-alat musik yang terdiri dari gendang, terompet, dan gong mampu memukau penonton ditambah atraksi tarung silat yang diperagakan jawara-jawara TTKKDH.

Dari kondisi ini kemudian menimbulkan daya tarik bagi penonton yang belum menjadi warga TTKKDH. Agus Suganda menyebutkan setiap bulan ada sekitar 3 sampai 5 orang yang masuk menjadi murid diluar keluarga para jawara TTKKDH. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mencatat jumlah pasti murid-murid tersebut, sebab disetiap desa sebagai wilayah ranting TTKKDH di Kabupaten Lebak selalu ada beberapa keluarga TTKKDH yang artinya selain orang tuanya, anak-anaknya juga menjadi murid TTKKDH, dan Agus Suganda menjamin mereka bisa ditampilkan kapan saja. Tampaknya regerasi penurunan ilmu Cimande versi TTKKDH terus berjalan sampai saat ini.

Dalam perkembangannya Cimande yang dulu diklaim sebagai milik etnis Sunda (Jawa Barat dan Banten) kemudian menasionalisasikan diri dengan melakukan persebaran ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Mbah Buyah yang menerima Cimande dari Mbah Main di Karawang melanjutkan pengembangan dengan mendirikan TTKKDH justru di luar wilayah Jawa Barat dan Banten yaitu di Lampung yang dikenal sebagai daerah orang-orang Melayu. Lebih jauh dari itu pencak Cimande tidak hanya berada di Indonesia, mancanegara juga turut mengembangkannya dengan memakai pelatih-pelatih dari aliran Cimande Indonesia seperti Perguruan Pajajaran Nasional yang didirikan oleh Sidik Sakabrata di Belanda atau Perguruan Pencak Silat Mande Muda yang didirikan oleh Herman Suwanda di Amerika Serikat. ini mengindikasikan bahwa budaya leluhur bangsa Indonesia tersebut diterima berbagai pihak dan berbagai kalangan.

TTKKDH tidak pernah melakukan promosi khusus untuk menerima murid baru, mereka para calon murid datang sendiri kemudian diperlihatkan Talek Cimande dan diberikan pengarahan seperlunya tentang TTKKDH, setelah itu keputusannya diserahkan kembali kepada mereka apakah tetap mau masuk menjadi murid atau tidak. Demikian ungkapan Agus Suganda tentang pola perekrutan murid bagi TTKKDH. Biasanya setelah diberikan informasi mereka menyatakan persetujuannya, lanjutnya. Ini berbeda dengan beberapa perguruan silat lain yang melakukan promosi secara langsung untuk menerima murid baru, misalnya perguruan Santria Nusantara (perguruan ini lebih mengarah kepada teknik penyaluran dan pemanfaatan nafas terutama untuk pengobatan, tetapi dimasukkan sebagai anggota IPSI) yang secara berkala melakukan promosi melalui berbagai media. Bagi TTKKDH calon murid tidak perlu dipanggil, mereka akan datang sendiri untuk berlatih setelah persayaratan disetujui. Jadi sifatnya adalah kesiapan calon murid diutamakan sedangkan kesiapan pelatih selalu tersedia. Ini dimungkinkan sebab pelatihan TTKKDH berlangsung di malam hari dimana biasanya jawara TTKKDH melakukan aktiftas rutin di siang hari dan pada malam harinya mereka beristirahat jika sedang tidak berlatih. Apalagi bila tiba malam Jumat (Kamis malam) yang merupakan malam wajib latih bagi murid TTKKDH.

Adapun mengenai jumlah murid TTKKDH sampai dengan tahun 2002, Agus Suganda menyebutnya “sangat sulit dihitung”. Ini terjadi karena selain tersebar mereka rata-rata terdiri dari kaum keluarga, meskipun beberapa diantaranya berasal dari lingkungan luar keluarga. Bukan berarti tidak ada catatan tentang sang calon murid, sebab sebelum resmi menjadi murid, calon murid diharuskan mengisi semacam formulir yang sebenarnya adalah biodata. Tujuannya adalah untuk mengetahui data diri murid tersebut. Alasan penggunaan biodata ini lebih bersifat informal yaitu untuk kebutuhan sang pelatih sendiri bahwa dia telah mengajar simurid. Bagi sang murid boidata tersebut dapat menjadi bukti bahwa dia juga warga TTKKDH yang mendapat pengajaran dari gurunya tersebut.

Pada saat ini pusat TTKKDH yang berada di kota Serang telah membuat kartu anggota mempunyai masa waktu 2 tahun, tetapi belum semua murid TTKKDH mendapatkan fasilitas tersebut. Penggunaan masa berlaku kartu 2 tahun mengandung maksud bahwa dalam masa tersebut sang murid atau warga TTKKDH belum melanggar Talek Cimande. Juga menjadi pertimbangan (semacam ikatan waktu meskipun dibuat selonggar-longgarnya) bagi murid TTKKDH untuk beralih perguruan atau keluar sama sekali. Namun demikian mengurut dari isi Pertalekan Cimande sepanjang tidak melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan tetap menjadi murid TTKKDH sekalipun tidak pernah lagi melakukan latihan.

Dampak yang Ditimbulkan
Aktifitas dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan hukum kausal yaitu sesuatu yang bersebab dan akhirnya berakibat. Demikian pula TTKKDH. Menjadi murid TTKKDH adalah suatu kebanggaan karena selain memiliki ilmu beladiri, secara tidak langsung juga menjalin hubungan secara luas dari berbagai latar belakang. Di sisi lain TTKKDH menjadi wadah pemersatu bagi murid-murinya yang berasal dari beragam identitas dan intensitas.

Dampak lain yang dirasakan adalah terciptanya jiwa mandiri dan berani mempertahankan yang hak. Seorang jawara memang dituntut untuk percaya diri pada kemampuan dari sendiri sebatas kesanggupan yang dimilikinya.

Jumat, 09 Desember 2011

Satu Hari dengan 60.000 Ide Brilian

 

Ingat tagline sebuah minuman bersoda yang berbunyi, di mana saja dan kapan saja? Tagline tersebut sejatinya lebih cocok untuk menggambarkan keberadaan ide. Di mana saja dan kapan saja. Ya itulah keberadaan ide. Sukatna PM

Ada sebagian orang yang mendapatkan ide ketika sedang mengamati gemerciknya air di pancuran, ada yang mendapatkan ide saat berjalan-jalan di taman, ada yang mendapatkannya ketika sedang berkendara. Bahkan sebagian orang mengaku mendapatkan ide ketika sedang (maaf) buang hajat di toilet.

Archimedes menemukan hukum (Archimedes) yang di kemudian hari memberikan kontribusi besar bagi kemajuan peradaban manusia ketika sedang kungkum (berendam) di bak mandi. Gaya ke atas yang melawan tubuhnya yang ambles ke air, digunakan sebagai dasar pembangun teorinya. Konon, lantaran suka citanya Archimedes melompat dari bak mandi, berlari sambil berteriak Eureka! Eureka! Eureka! (Saya telah menemukannya!) Tentu saja masih dalam keadaan telanjang bulat.

Semua pengakuan yang terekam maupun yang belum terekam tersebut benar adanya, karena ide memang berada di mana saja dan kapan saja.

Lalu seberapa banyak ide yang dipikirkan orang dalam seharinya? Menurut Marci Shimoff, salah satu tokoh yang dikutip dalam karya luar biasa Rhonda Byrne The Secret, dalam sehari manusia memproduksi 60.000 pikiran. Sekali lagi 60.000 pikiran setiap harinya. Kalau kita mengasumsikan pikiran manusia difokuskan untuk menghasilkan ide bisnis, maka dalam sehari ia akan menghasilkan 60.000 ide bisnis. Luar biasa. Sayangnya, kita belum mengetahui potensi luar biasa tersebut. Kita perlu mengetahui bagaimana langkah-langkah mengubah ide-ide melimpah menjadi mesin rupiah.

Langkah Pertama, Menggali dan Mencari Kelimpahan Ide. Seperti dikatakan Marci Shimoff, dalam satu hari dalam benak manusia memproduksi 60.000 pikiran. Namun tanpa adanya usaha untuk memfokuskan ke dalam satu arah tertentu, 60.000 pikiran atau ide itu akan sekadar berseliweran dalam kepala seseorang. Dengan adanya usaha untuk mengarahkan atau menuntun pikiran ke arah tujuan tertentu ide-ide yang berseliweran akan lebih memiliki arti. Untuk mendapatkan ide-ide yang saling bertautan dan saling menguatkan (ide kumulatif) perlu melakukan penggalian, pencarian dan penyaringan.

Tidak semua orang mengalami hal yang dalam mendapatkan ide bisnis kumulatif ini. Pencarian, penggalian ide bukanlah sesuatu yang pasif. Proses ini bersifat aktif dan sangat dipengaruhi lingkungan, hobi, pengetahuan dan pengalaman seseorang.

Dari sisi lingkungan, lihat saja, orang yang terlahir di lingkungan warga keturunan yang didominasi dengan aktivitas bisnis akan sangat gampang dan cepat menangkap ide-ide bisnis di sekitarnya. Bahkan, mungkin di sepanjang waktu dan hidupnya mereka selalu berpikir untuk selalu mendapatkan ide dan mewujudkan bisnisnya. Terbukti hampir semua jenis bisnis yang mereka geluti membuahkan hasil luar biasa.

Lingkungan yang berubah juga menawarkan ide-ide bisnis untuk dijadikan peluang bisnis. Adanya para vegetarian atau adanya sejumlah penyakit tertentu yang disebabkan karena terlalu banyak mengonsumsi daging menumbuhkan ide untuk membuat daging tiruan, yang berbahan baku dari jamur. Juga, munculnya ide untuk mengolah jantung pisang menjadi dendeng, yang dari sisi rasa dan gizinya tidak kalah dengan dendeng berbahan baku daging.

Lingkungan yang cepat berubah di dunia transportasi dengan naiknya harga BBM juga menyebabkan “migrasi” besar-besaran pada pola pemilihan kendaraan. Sepeda motor, yang dinilai sebagai pilihan paling irit untuk berkendara menempati peringkat teratas. Migrasi besar-besaran ini melahirkan ide-ide bisnis yang masih terkait dengan sepeda motor. Misalnya bisnis bengkel, pembuatan suku cadang, penjualan suku cadang dan pembuatan serta penjualan asesoris sepeda motor. Jenis bisnis dari asesoris motor sendiri saja jumlahnya tak terhitung lantaran dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan sesuai dengan trend permintaan pasar. Misalnya, trend rem yang suaranya menyerupai rem angin bus. Trend klakson pun bermacam-macam, mulai dari suara ringkik kuda, lenguh sapi sampai gonggongan anjing.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap yang mengalaminya, bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor juga memunculkan ide-ide bisnis. Misalnya, bisnis kantong mayat. Tak berarti bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, karena sifat bencana yang tidak terduga dan tidak bisa ditolak, kantong-kantong mayat tersebut bisa membantu pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk mengevakuasi korban, sehingga bisa meminimalkan efek negatif dari keterlambatan mengevakuasi mayat.

Bencana banjir juga bisa memunculkan ide untuk membuat alat-alat yang “anti-banjir.” Artinya, alat-alat tersebut tidak rusak dan masih bisa berfungsi pada saat banjir melanda. Bahkan ada yang mempunyai ide untuk mendesain lemari yang dalam waktu singkat bisa disulap sebagai sekoci pada saat banjir melanda. Mengingat cakupan banjir, semakin lama semakin luas, bahkan hampir merata di seluruh Pulau Jawa, sebagian Sumatera dan sebagian Kalimantan, ide bisnis ini sangat brilian.

Hobi juga memberikan kesempatan lebih besar untuk menggali dan mencari ide-ide bisnis. Orang yang memiliki hobi naik gunung, misalnya, besar kemungkinan, akan memiliki bisnis yang terkait dengan aktivitas naik gunung. Bos Avtech Yudi Kurniawan yang keranjingan naik gunung akhirnya membuka bisnis sebagai produsen alat-alat perlengkapan naik gunung. Ide bisnis terlintas, ketika dia menyadari bahwa alat-alat perlengkapan naik gunung yang ada di pasaran saat itu harganya sangat mahal. Oleh karena itu jika ia mampu memproduksi alat perlengkapan naik gunung dengan harga yang lebih murah tentu peluang untuk mendapatkan konsumen tinggi. Konsumen itu bisa berasal dari pada konsumen yang beralih dari pembeli alat-alat perlengkapan yang sudah ada maupun dari konsumen baru yang selama ini ingin membeli alat perlengkapan naik gunung tetapi belum mampu karena harganya yang kelewat tinggi.

Jap Khiat Bun, salah eksportir ikan hias terbesar di Indonesia, mendapatkan ide bisnis dari hobinya memelihara ikan hias. Bermodalkan lima aquarium Jap terus mengulik ikan hias. Bahkan, saking hobinya kepada ikan hias, seluruh waktunya ia dedikasikan untuk mengurusi ikan hias, sehingga pernah suatu waktu ia sampai terserang stroke ringan. Namun karena hobinya tersebut kini ia tercatat sebagai salah satu pemain besar pengekspor ikan hias berbendera CV Maju Aquarium.

Page 2 of 3
Pengalaman dan pengetahuan juga menstimuli lahirnya ide-ide bisnis. Urpan Dani, pemilik PT Salsabila Rizky Pratama, tercetus ide untuk berbisnis di dunia lumpur pengeboran minyak, setelah sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan yang memiliki bisnis inti sejenis. Urpan melihat masih banyak peluang yang terbentang di bisnis ini, karena jumlah pemain yang terjun ke bisnis tersebut relatif sedikit. Pengalaman dan pengetahuan yang ditimba sebelumnya memberikan landasan yang kuat untuk melahirkan ide dan mewujudkannya ke dalam bisnis, serta cara-cara penanganannya mulai dari memproduksi barang sampai memasarkannya ke konsumen.

Sebelum mendirikan factory outlet, Perry Tristianto Tedja, sempat berbisnis kaos yang dikaitkan dengan tema-tema musik karena sebelumnya Perry sempat menjadi direktur utama sebuah perusahaan rekaman. Maka setelah mengundurkan diri dari perusahaan rekaman tersebut, ia memanfaatkan jaringan toko-toko kaset dengan menjual kaos yang masih ada kaitannya dengan dunia musik. “ Kalau tadinya saya bekerja di bidang farmasi mungkin saya akan berjualan kaos yang ada kaitannya dengan dunia farmasi,” akunya pada suatu waktu.

Hengky Setiawan bos Telesindo Shop juga menimba ilmu dan pengalaman terlebih dahulu dengan menjadi seorang sales. Ilmu pengetahuan dan pengalaman inilah yang memberikan landasan kuat untuk mewujudkan idenya membangun bisnis distributor produk-produk seluler di bawah bendera Telesindo Shop. Kini bisnis yang dikomandoi ini merupakan tiga terbesar di Indonesia untuk bisnis sejenis.

Lalu bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman bagi seseorang yang belum pernah bekerja pada suatu perusahaan tertentu? Sumber pengetahuan dan pengalaman berbisnis bukan hanya didapat dari perusahaan tertentu. Saat ini banyak sekali sumber pengetahun dan pengalaman bisnis yang bisa kita dapatkan. Mulai dari media cetak koran, tabloid, majalah, buku, sampai media audio visual dan online.

J Ganang Andi, memiliki ide bisnis membuat miniatur pesawat tempur dari kertas setelah keranjingan membaca buku-buku dan majalah militer. Hampir semua informasi soal perkembangan teknologi persenjatan hingga saat ini selalu dilahapnya. Ia belajar membuat membuat miniatur pesawat kertas dari satu majalah yang memuat pola-pola cara membuat pesawat dari kertas yang kemudian ia kembangkan sendiri desain dan pola-polanya.

Pada kenyataannya mungkin ide bisnis tidak lahir karena satu faktor saja. Sangat besar kemungkinan ide bisnis ini lahir dari kombinasi faktor-faktor tersebut di atas. Misalnya, faktor lingkungan yang berkombinasi dengan hobi atau faktor lingkungan dengan pengetahuan dan pengalaman, atau justru kombinasi dari semuanya.

Dalam The Origins of Entrepreneurship disebutkan berdasarkan survei ditemukan fakta bahwa 43 % pengusaha mengaku ide bisnisnya berasal dari pengalaman bekerja di industri yang sama, 15 % pengusaha memperoleh ide dari melihat orang lain mencoba suatu usaha, 11 % pengusaha mendapat ide pada saat melihat peluang pasar yang tidak atau belum terpenuhi, 7 % pengusaha menemukan ide karena telah meneliti secara sistematik kesempatan berbisnis, dan 3 % pengusaha muncul ide bisnisnya karena hobi.

Langkah Kedua, Mendiskusikan Ide Kepada Orang yang Lebih Expert.
Lahirnya sebuah ide bisa terjadi secara tidak terduga maupun sudah dipersiapkan secara matang. Sekalipun lahir dari persiapan yang matang bukan berarti ide bisnis ini sudah sempurna. Ide-ide bisnis ini harus didiskusikan dengan orang-orang yang lebih mumpuni di bidangnya. Pada saat Larry Page dan Sergey Brin mempunyai ide untuk membuat search engine Google keduanya mendiskusikan ide tersebut kepada Profesor David Cherington. Bukan saja, Profesor David mendukung ide tersebut di saat orang lain meragukannya, bahkan oleh Profesor dari Stanford University ide tersebut dibawa ke venture capital Kleiner Perkins Caufield & Byers untuk mendapatkan pendanaan.

Tetapi seringkali penemu ide bisnis kesulitan untuk menemukan orang yang tepat. Mendiskusikan ke anggota keluarga, alih-alih mendapat dukungan, dalam kebanyakan kasus mereka malah mengendorkan semangat dengan lebih menonjolkan risiko-risiko ketimbang peluang-peluang yang mungkin bisa didapatkan dari ide bisnis itu.

Namun sebenarnya tidaklah terlalu sulit untuk menemukan orang yang tepat guna mendiskusikan ide bisnis tersebut. Eksperimen Dr Stanley Milgram dari Yale University membuktikan hal itu. Berdasarkan eksperimennya, hanya dibutuhkan maksimal enam orang untuk menjangkau siapa pun dan di negara bagian mana pun di Amerika Serikat. Artinya, hanya ada enam derajat pemisahan bagi seseorang untuk bisa menjangkau seseorang lainnya yang dia butuhkan, di mana pun di dunia. Misalnya saja Anda ingin menghubungi saya mungkin hanya membutuhkan enam teman, bahkan kurang dari itu, padahal Anda tidak pernah mengenal saya sebelumnya. Pertama, mungkin Anda akan menghubungi teman yang bekerja di media massa. Kemudian teman Anda akan menghubungi temannya yang bertugas meliput bidang ekonomi, dan teman tersebut akan segera bisa menghubungkan Anda dengan saya. Dalam kasus ini, pemisahan antara Anda dengan saya hanya tiga derajat.

Seberapa penting ide bisnis didiskusikan? Orang lain selalu bisa memberikan perspektif yang berbeda dengan kita sehingga ini bisa memperkaya perspektif ide bisnis kita. Pengetahuan dan pengalaman orang lain, apalagi dia seorang pakar, akan bersifat komplementer dengan pengetahuan yang kita miliki. Feni Indah Kusumawati bersama rekannya Marlinda Sari, Desi Nurmasari, dan Rachmat dari Institut Pertanian Bogor memiliki ide brilian untuk membuat permen berbahan baku wortel. Namun ide itu mentok pada persoalan rasa wortel yang getir dan berbau langu. Mereka baru berhasil menemukan formula yang bisa menghilangkan rasa getir dan bau langu pada wortel setelah mendiskusikan hal ini dengan dosen teknologi pangan dari IPB.

Elang Gumilang, mahasiswa yang juga Direktur PT Dwikarsa Semestaguna memiliki usaha properti bernilai miliaran rupiah, awalnya berbisnis kecil-kecilan. Mulai dari dagang mainan dari tanah liat sampai berbisnis minyak goreng. Bisnisnya mulai terbentuk ke bisnis yang lebih serius setelah dosennya memberi nasehat,” kalau mahasiswa bisnis yang tepat memakai otak, bukan mengandalkan otot.”

Langkah Ketiga, Melakukan Riset Terhadap Ide.
Yang terbayang di kepala orang adalah metodologi-metodologi yang rumit ketika berbicara masalah riset. Idealnya memang demikian, sehingga hasil kesimpulan dari riset tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Namun tidak semua orang memiliki kemampuan maupun dana untuk melakukan riset seperti yang dimaksud di atas. Riset terhadap ide bisa disederhanakan, dengan sekadar mencari tanggapan kepada kolega atau ke orang secara acak mengenai tanggapan mereka seandainya ide bisnis tersebut dijalankan. Misalnya, Anda yang tinggal di suatu perumahan memiliki ide untuk menjalankan bisnis antar jemput anak sekolah. Anda pergi ke blok A untuk menanyakah kepada beberapa orang tua apakah mereka tertarik untuk mengikutkan anak mereka dalam program antar jemput anak sekolah seandainya Anda memiliki bisnis jasa tersebut. Demikian juga yang Anda tanyakan kepada orang tua di blok-blok lain. Jika sebagian dari mereka menjawab ya, maka ini merupakan modal besar bagi Anda untuk mewujudkan bisnis antar jemput anak sekolah di perumahan itu.

Tetapi ada kemungkinan ide bisnis Anda memerlukan riset yang lebih rumit dan tidak cukup hanya sekadar bertanya satu dua persoalan. Misalnya seseorang ingin mendirikan toko emas di depan sebuah perumahan, tetapi dia tidak tahu persis berapa kekuatan daya beli warga di perumahan tersebut. Maka calon pengusaha yang bersangkutan bisa memanfaatkan riset dari perusahaan lain. Perusahaan-perusahaan besar, seperti jaringan minimarket atau jaringan salon cuci mobil ternama, pasti sudah melakukan riset sebelum mendirikan cabang atau gerai jaringannya. Kalau kita hanya sekadar ingin mengetahui daya beli warga perumahan setempat kita bisa mengikuti atau ndompleng riset mereka.

Monday, 22 September 2008
Page 3 of 3
Langkah Keempat, Menemukan Hal yang Spesifik dari Ide.
Sebagian besar dari kita memang tidak terlahir sebagai orang hebat yang bisa menghasilkan ide-ide orisinil. Tidak perlu pesimistis. Orang sukses bukan monopoli pemilik ide orisinil. Ikan adalah binatang yang paling besar memanfaatkan air dibandingkan makhluk apa pun, namun bukan ikan yang menemukan air atau menemukan rumus molekul air. Monyet juga paling besar memanfaatkan pohon, tetapi bukan monyet yang menemukan pohon. Kedua makhluk itu bisa memanfaatkan sebesar-besarnya air dan pohon karena keduanya memiliki anugerah khusus dibandingkan makhluk lainnya. Ikan memiliki insang (kecuali ikan paus) sedang monyet memiliki tangan yang kokoh dan cekatan untuk bergelantungan. Tegasnya, sukses tidaknya suatu bisnis tidak terletak apakah yang bersangkutan sebagai penemu ide bisnis atau bukan, tetapi lebih merupakan kemampuan untuk mengoptimalkan kelebihan spesifik dari ide bisnisnya. Ide untuk memproduksi permen bukanlah hal yang baru. Namun ketika Anda bisa memberikan nilai lebih dibandingkan dengan permen-permen lain yang sudah beredar, Anda bisa menawarkan hal yang berbeda. Dalam contoh permen wortel, selain tetap mempertahankan hal-hal menarik pada produk permen, seperti rasa manis dan bentuknya menarik anak-anak, kandungannya juga bisa memasok asupan vitamin A bagi anak-anak.

Jus pesan-antar Mama Roz, mungkin bukan yang pertama berada di pasaran. Tetapi klaim bahwa bahan bakunya asli dari buah segar tanpa konsentrat dan bahan pengawet lainnya merupakan kelebihan yang bisa ditonjolkan sehingga dengan cepat jus ini bisa merebut hati pelanggan.

Langkah Kelima, Menentukan Target Pasar dari Ide Bisnis.
Setelah melakukan riset atas ide, bisnis yang akan dibangun semakin kelihatan bentuk dan kualitasnya. Sebagai langkah lanjutnya, adalah penentuan target pasar atas ide tersebut. Sekalipun berdasarkan riset sudah tergambar bahwa produk dari bisnis yang akan dijalankan bisa diterima masyarakat luas, namun harus segera ditentukan siapa targetnya. Satu hal di dunia bisnis modern ini adalah kenyataan bahwa suatu produk tidak mungkin bisa menjangkau semua target pasar. Hal ini terjadi bukan saja karena banyaknya pesaing, bahkan pesaing yang sudah ada lebih dominan, melainkan secara alamiah memang tidak ada produk yang bisa memuaskan semua kalangan. Produk yang berkualitas dan membutuhkan bahan baku yang juga tinggi kualitasnya sehingga production cost-nya tinggi tentu tidak cocok kalau disasarkan untuk kalangan menengah ke bawah. Produk Deco Book, misalnya. Bisa saja semua orang mengakui bahwa seni kerajinan tangan dari buku bekas ini memang eksotis, namun untuk kalangan menengah ke bawah membeli sebuah kerajinan dari buku bekas dengan banderol Rp300 ribu, tentu akan berpikir ulang. Penentuan target pasar ini akan menentukan sukses tidaknya penerimaan pasar.

Langkah Keenam, Menentukan Besarnya Dana Serta Sumbernya.
Dana, dalam bisnis merupakan darah. Kalau ide ibarat kusir, maka dana adalah kudanya. Tanpa kuda, delman tidak akan pernah bergerak ke mana-mana, meski sang kusir sudah memiliki rencana indah untuk pergi tamasya keliling kota. Begitu vitalnya dana, seringkali persoalan ini dijadikan alasan pembenar bagi seseorang yang ketakutan memulai bisnis. “Saya memiliki ide bisnis bagus, sayangnya saya tidak memiliki cukup dana untuk mewujudkan ide itu,” kata orang-orang berdalih.

Keperluan terhadap besarnya dana untuk masing-masing ide bisnis beragam. Ada ide yang cukup didanai dengan tabungan sendiri, ada ide yang membutuhkan patungan sanak saudara dan kolega, namun ada juga ide yang membutuhkan dana dari investor atau lembaga keuangan. Ide Larry Page dan Sergey Brin membuat search engine Google jelas membutuhkan dana yang besar, yang tidak mungkin mereka biayai sendiri lantaran keduanya masih berstatus sebagai mahasiswa. Namun ide yang cemerlang pasti ada jalan keluarnya. Dengan bantuan Profesor David Cherington ide tersebut dibawa ke Kleiner Perkins Caufield & Byers sehingga ide tersebut mewujud menjadi perusahaan raksasa seperti yang kita saksikan saat ini.

Jadi persoalan terbesarnya bukan terletak pada ada tidaknya dana tetapi lebih merupakan pada persoalan prospektifnya ide bisnis dan ketepatan menentukan dana yang dibutuhkan. Inilah yang terpenting dalam tahapan ini. Seringkali orang merasa membutuhkan dana yang besar untuk suatu ide bisnis, sehingga mereka mengajukan pinjaman di atas kebutuhan yang sebenarnya. Ketika pinjaman cair kebutuhan menjadi melebar ke mana-mana, sehingga kelak di kemudian hari bisnis yang dijalankan menjadi tersendat-sendat karena harus menanggung biaya yang seharusnya memang bukan menjadi kewajiban bisnis tersebut.

Langkah Ketujuh, Menentukan Waktu Untuk Memulai Bisnis.
Ingat nasihat seorang dai tentang memulai bisnis yang berbunyi: mulai dari diri kita sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari saat ini. Ingat juga dengan nasihat don’t put off until tomorrow what you can do today . Namun ternyata saat (waktu) memiliki keistimewaan sendiri. Sepertiga malam yang terakhir merupakan waktu yang terbaik untuk berdoa, meskipun kita bisa berdoa di sembarang waktu.

Sepintas ada yang kontradiktif dari dua hal di atas. Benarkah demikian? Kalau kita mendalami lebih jauh tentang dua hal di atas sebenarnya tidak ada yang kontradiktif. Nasihat kelompok pertama lebih ditujukan kepada orang-orang yang suka menunda-nunda waktu, dengan berbagai dalihnya. Sedangkan kenyataan bahwa ada waktu atau momen tertentu yang tepat untuk melakukan aktivitas ditujukan untuk orang-orang yang teliti melakukan persiapan dalam melakukan aktivitasnya. Kenyataan yang tidak bisa dibantah, alam secara keseluruhan dan alam bisnis memiliki suatu ritme sendiri. Menjual perahu karet di saat musim kemarau, jelas salah timing.

Ketepatan timing dalam memulai bisnis merupakan salah satu komponen penting sukses tidaknya bisnis. Bisnis susu jagung akan jauh lebih sukses ketika harga susu sapi dan keledai melonjak tinggi. Bisnis menjual alat penghemat bahan bakar akan menemui momentumnya ketika harga BBM melejit, demikian juga bisnis bahan bakar alternatif. Bisnis alat-alat olahraga akan lebih tinggi omsetnya ketika menjelang Agustusan tiba. Adalah tidak tepat menjual sepatu anti-air pada saat kemarau.

Demikian tujuh langkah dalam mewujudkan ide dan peluang menjadi lumbung uang. Bisa jadi langkah yang dilakukan satu pengusaha dan pengusaha lainnya berbeda, sehingga langkahnya bisa lebih pendek atau lebih panjang dari tujuh langkah tersebut. Namun kami yakin tujuh langkah ini bisa dijadikan referensi bagi Anda yang ingin segera mewujudkan ide menjadi bisnis.
Sumber :
© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya
Satu Hari dengan 60.000 Ide Brilian


Jumat, 18 Juni 2010

Kharisma Jawara dan Kyai Banten

Sumber :
Disalin dari Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Kompetitif Tahun 2002
Ketua Peneliti: Mohamad Hudaeri, M. Ag.
Anggota Peneliti: Drs. H.S. Suhaedi, Atu Karomah, S.H., dan Sholahuddin al-Ayubi
STAIN Serang Banten
Editor dan Peringkas: Masykur Afuy
Semoga berguna


PENDAHULUAN

Masyarakat Islam Banten, dalam tradisi keislaman di Indonesia pada masa lalu, dikenal lebih sadar-diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa. Perbandingan itu mungkin juga berlaku terhadap kebanyakan wilayah di Nusantara. Beberapa hasil observasi menunjukkan kebenaran reputasi ini. [1] Demikian ungkap Martin van Bruinessen. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Islam sangat berpengaruh dalam pembentukan dan perkembangan masyarakat Banten. Pada awalnya Banten merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara, setelah memisahkan diri dari kerajaan Hindu Padjadjaran pada paruh pertama abad ke-16. Karena daerahnya yang strategis, berada pada jalur pelayaran dan perdagangan Nusantara bahkan internasional dan kesuburan tanahnya, Banten berhasil mengalahkan negara induknya bahkan dapat menguasai sebagian wilayah kekuasaan Padjadjaran pada pertengahan abad ke-16. [2]

Sebagian besar penduduk Banten berketurunan orang Jawa dan Cirebon. Dalam perjalanan waktu, penduduk ini berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda, orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di antara unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Karena Islam mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten.

Di Banten yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang terkenal sangat taat terhadap agama, sudah sewajarnya kyai menempati kedudukan yang signifikan dalam masyarakat. Kyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di pedesaan. [3] Pengaruh kyai melewati batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan simbol-simbol kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah. Karena itu, perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.


Kedududukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat. Jaringan itu terbentuk melalui organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakat, partai politik, guru-murid dan tarekat.

Di samping kyai, Jawara merupakan kelompok lain yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten. [4] Jawara dikenal sebagai seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supranatural (magic), seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Sosok seorang jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan supranatural. [5]

Kepala jawara memiliki padepokan sebagai tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan, mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib; dan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.

Dengan demikian, entitas kyai dan jawara dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya. Bagi peneliti, dua entitas tersebut merupakan fenomena yang menarik. Karenanya, sebagai permasalahan utama peneliti memunculkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimana kedudukan dan peran kyai dan jawara dalam budaya masyarakat Banten? Bagaimana jaringan kyai dan jawara di Banten dapat terbentuk? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? Dan bagaimana hubungan kyai dengan jawara?

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti menggunakan tiga pendekatan, yaitu: etnografis, historis dan teologis. Metode yang dipergunakan adalah pengamatan terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview), untuk mengungkap unsur-unsur kebudayaan yang terdapat dalam interaksi sosial dan simbol-simbol yang dipergunakan oleh kyai dan jawara.

Setelah melakukan eksplorasi literatur tentang permasalahan itu, sebagai acuan dalam membahas permasalahan, peneliti menggunakan teori bahwa subkultural ini bukan hanya sekedar sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu, tetapi ia sangat komplek. Ia memiliki simbol, makna dan pengetahuan. Ia merupakan sistem norma, nilai, kepentingan atau perilaku yang membedakan antara individu, kelompok atau kesatuan dengan masyarakat yang lebih besar di mana mereka juga ikut berpartisipasi di dalamnya. [6] Teori ini menempatkan bahwa kyai dan jawara adalah subkultur, yang memiliki nilai dan norma tersendiri, namun tetap tidak terpisah dari kultur masyarakat Banten secara keseluruhan.

Pandangan tersebut sangat mempengaruhi, bahkan seringkali menentukan, keberadaan subkultur. Kecurigaan, ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap hal-hal yang tidak diketahui atau hal-hal yang menyimpang dapat mengakibatkan penolakan oleh masyarakat dominan. Sebuah lingkaran interaksi dapat menggerakkan mereka yang didefenisikan berbeda atau menyimpang untuk berpikiran dan berperilaku seperti yang dituduhkannya itu, sehingga mereka yang “dituduh” itu berupaya untuk semakin banyak mengambil sumber-sumber mereka sendiri, mengangkat nilai-nilai, keyakinan, peran dan sistem status milik mereka sendiri. [7]

Banten dan Tradisi Islam
Banten terletak di bagian Barat pulau Jawa yang melingkupi daerah kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon dan Tangerang. Di sebelah Utara terdapat laut Jawa dan sebelah Barat terdapat selat Sunda. Sebelah Selatan terletak Samudera Indonesia dan sebelah Timur terbentang dari Cisadane sampai Pelabuhan Ratu. Pulau-pulau di sekitarnya yang masih termasuk wilayah Banten adalah: pulau Panaitan, pulau Rakata, pulau Sertung, pulau Panjang, pulau Dua, pulau Deli dan Pulau Tinjil. Kini jumlah penduduk Banten sekitar 8.098.277 orang dengan komposisi 95,89 % beragama Islam, 1, 03 % beragama Katolik, 1, 59 % beragama Protestan, 0,22 % beragama Hindu, 1,15 % beragama Budha. Sisanya memeluk agama lokal (sunda wiwitan), yakni orang-orang Baduy. [8]

Sejarah Islam di Banten tidak sekedar soal konversi saja, tetapi juga mengenai pengaruh Islam sebagai agama resmi kesultanan, sehingga mengakibatkan hancurnya banyak kebudayaan Hindu-Budha yang pernah ada dan sebagai ideologi perjuangan untuk melawan pemerintah kolonial. Yang terakhir inilah mungkin, tanpa mengesampingkan adanya ulama Banten yang menekuni bidang intelektual seperti Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyebabkan penyebaran Islam di Banten dalam bidang intelektual tidak begitu menonjol. [9] Para tokoh agama, kyai termasuk di dalamnya, lebih sibuk mengurusi soal bagaimana mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Hal demikian menimbulkan kesan bahwa sentimen keislaman di Banten sangat kental, meskipun dalam pemahaman keislaman tidak begitu mendalam. Hal seperti ini juga dapat terlihat dalam perilaku para jawara.

Sejarah masuknya Islam di Banten masih sangat kabur. Para sarjana mengakui adanya problem yang signifikan berkaitan dengan asal usul penyebaran Islam di Banten, yang mungkin tidak akan pernah terungkap secara utuh karena kurangnya sumber-sumber sejarah yang bisa dipercaya yang mencatat periode kontak dan konversi tersebut. Diakui memang sudah ada kalangan muslim, terutama para pedagang dari Arab dan India, yang singgah di pelabuhan Banten. Para pedagang tersebut yang kemudian membawa para guru agama (muballigh) setelah mereka mendirikan komunitas-komunitas yang permanen di Banten. Dengan demikian, jalinan antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, meskipun tidak secara langsung. Kendati jalur perdagangan yang pertama membawa Islam ke Banten, akan tetapi para sufi, ulama dan tentunya para Sultan Banten memiliki peran penting dalam menyebaran Islam di seluruh wilayah Banten. [10]

Dalam kesultanan Banten, para sultan bukan saja pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama. Dalam kesultanan Banten politik dan agama memiliki kaitan yang erat. Tidak ada pemisahan yang tegas antara permasalahan agama dan permasalahan politik. Kekuasaan dan agama dalam kesultanan Banten saling menguatkan bukan bersaing. Islam menyebar ke seluruh wilayah Banten tidak lepas dari pengaruh kekuasaan kesultanan Banten. Demikian pula kekuasaan kesultanan Banten mendapat legitimasi kuat dari agama Islam. Sebagai simbol kaitan yang erat antara kekuasaan dan keagamaan dapat dilihat dari letak keraton Surosowan yang berdampingan dengan mesjid Agung Banten. Dalam negara tradisional, keraton merupakan simbol dari kekuasaan yang bersifat duniawi, sedangkan mesjid merupakan simbol keagamaan yang bersifat keakhiratan [11] .

Para Sultan Banten selain dikenal sebagai orang religius juga ahli agama. Bahkan Sultan Ke-3, Maulana Muhammad banyak menulis kitab-kitab tentang agama Islam yang kemudian dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia pun sering menjadi imam dan khotib pada sholat Jum’at dan hari-hari raya. Demikian pula Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad. Ia sering memberikan pengajaran tentang agama Islam kepada para bawahan dan keluarganya. Ia pun dikisahkan banyak menulis buku agama, salah satu karyanya, Insân Kâmil, yang kemudian diambil oleh Snouck Hurgronye. [12]

Sebagai simbol bahwa para Sultan Banten tidak hanya pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama, mereka memakai gelar keagamaan, maulana atau sultan, di depan nama mereka. Maulana yang merupakan gelar yang dipakai oleh seseorang yang telah mencapai derajat wali, sedangkan sultan merupakan gelar yang diberikan oleh para ulama di Mekkah kepada penguasa Banten sebagai pengakuan akan kepemimpinannya terhadap orang-orang muslim seperti, pendiri dan penguasa kesultanan Banten, Pangeran Sedakinking, bergelar Maulana Hasanuddin. [13]

Runtuhnya kesultanan Banten dan semakin memudarnya peran agama dalam sistem politik pemerintahan kolonial, telah mengalihkan loyalitas masyarakat ke para pemimpin agama yang selama ini bersifat independen, yakni para kyai. Para kyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang sebagai orang-orang kafir yang telah merebut kekuasaan orang-orang muslim dan dengan demikian mesti diperangi. Ide-ide keagamaan itu memasuki hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Pandangan ini mempunyai pengarauh signifikan di Banten yang penduduknya saat taat kepada agama.

Pada masyarakat yang religius, tingkat keberagamaan setiap orang diukur dari segi kesalehannya, pengetahuannya atau keanggotannya dalam satu lembaga keagamaan seperti tarekat. Oleh karena itu, pada masa-masa ini para kyai atau pemimpin tarekat lebih dihormati daripada pamongpraja atau birokrat yang bekerja pada pemerintah kolonial. Karena itu, rakyat tidak memberikan dukungan politik kepada para bupati dan pamongraja, karena mereka dipandang telah bekerja pada pemerintahan yang kafir, sehingga derajat sosio-religius mereka pun dipandang rendah. [14]

Dengan kedudukan seperti itu, para kyai memainkan peran penting dalam melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah kolonial, yang mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan elit-elit sosial lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh Ki Wasid.



Kedudukan & Peran Kyai dan Jawara
Kyai dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini. Meskipun peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan moralitas masyarakat Banten, sehingga dampaknya tidak hanya berpengaruh pada pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. [15] Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh. Kyai sampai kini tetap merupakan salah satu orang yang dihormati oleh masyarakat. Di samping tokoh-tokoh lain, seperti tokoh politik para pejabat pemerintah dan pengusaha.

Demikian pula jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar.

Kyai dan Jawara sebagai Elit Sosial
Pada masyarakat yang sangat kental nuansa keagamaan, seperti Banten, peran tokoh agama sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kyai di Banten memiliki status sosial yang dihormati oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat religius didasarkan kepada suatu kesakralan, Tuhan atau Allah, sehingga ketertiban sosial pun dipandang memiliki hubungan yang erat dengan kekuasaan di atasnya. Karena itu mereka memiliki ketergantungan terhadap tokoh-tokoh agama dalam memandu kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. [16]

Jawara pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, terkadang mereka justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Ahmad Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.



Peran Sosial Kyai
Peran kyai dalam masyarakaat Banten pada masa kini tidak sepenting masa-masa yang lalu. Arus modernisasi yang banyak mengagungkan kepada materi dan menuntut profesionalisme dalam segala bidang, telah menempatkan kyai hanya pada peran-peran yang berkaitan langsung dengan masalah keagamaan. Sudah tidak banyak kyai yang memiliki peran yang menentukan di luar masalah keagamaan, seperti pada masa kolonialisme atau pada masa awal kemerdekaan RI dan zaman revolusi fisik tahun 1945-1950.

Berdasarkan perannya, kyai di Banten sering dibedakan menjadi “kyai kitab” dan “kyai hikmah.” [17] Kyai kitab ditujukan kepada kyai atau guru yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu tekstual Islam, khususnya yang dikenal dengan kitab kuning. Seperti kitab-kitab tafsir al-Qur’an, kitab-kitab Hadits, kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, kitab-kitab akidah akhlak serta kitab-kitab gramatika Bahasa Arab. Sedangkan, “kyai hikmah” adalah para kyai yang mempraktekkan ilmu magis Islam. Yakni yang mengajarkan wirîd, zikr dan râtib, untuk keperluan praktis, seperti permainan debus, pengobatan, kesaktian dan kewibawaan. Meskipun demikian, pembedaan tersebut pada praktiknya tidak memisahkan secara tegas. Banyak kyai yang mengkombinasikan kedua peran tersebut dengan campuran yang berbeda-beda.

Peran-peran sosial keagamaan kyai di Banten dapat dirincikan dengan beberapa bagian, yaitu:

a. Guru Ngaji
Peran kyai yang paling awal adalah mengajarkan pembacaan al-Qur’an dengan baik kepada para santrinya. Tugas kyai dalam hal ini adalah mengajarkan pembacaan huruf-huruf hijâiyyah dan kaidah-kaidah pembacaan al-Qur’an yang benar, yang dikenal dengal ‘ilm tajwîd. Dalam tahapan yang lebih maju kyai mengajarkan tentang beberapa metode pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara indah, yakni untuk para qâri dan qâriah yang memiliki bakat suara yang baik. Selain itu juga para qâri dan qâriah diajarkan aliran-aliran atau madzhab-madzhab pembacaan ayat-ayat al-Qur’an.

Sekarang ini, peran guru ngaji tidak hanya dilakukan oleh seorang kyai yang memiliki pesantren, tetapi juga oleh para santri, yang biasanya dipanggil ustâdz, yang pernah mengeyam pendidikan pesantren dan memiliki kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah pembacaannya dalam ‘lmu tajwîd. Pelaksanaan pengajarannya biasanya diselenggarakan di rumah ustâdz atau di mushola yang terdekat dengan kediamannya. Pengajaran al-Qur’an dilakukan pada waktu-waktu selesai sholat lima waktu, seperti: setelah sholat magrib, subuh dan ashar. Para pesertanya biasanya anak-anak dan kaum remaja di sekitar kediaman ustâdz tersebut.
b. Guru Kitab
Seorang santri yang telah lancar membaca ayat-ayat al-Qur’an, mulai berkenalan dengan kitab-kitab Islam klasik. Memang tugas utama seorang kyai di pesantren adalah mengajarkan kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan-karangan ulama fiqh yang bermadzhab Syafi’i. Pengajaran membaca al-Qur’an, meskipun dilaksanakan di pesantren-pesantren, yang biasanya masih kecil dan belum terkenal, sebagai dasar dari suatu proses pendidikan, bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren. Tujuan utamanya adalah setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam memahami kitab-kitab Islam klasik, yang dikenal dengan kitab kuning.

Kemashuran seorang kyai dan pesantren ditentukan dari kemampuannya dalam memahami isi dan memberikan pengajaran tingkatan kitab-kitab klasik tersebut. Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren yang kecil dan kurang terkenal mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar. Sedangkan kyai yang terkenal dan kharismatik biasanya memiliki sebuah pesantren yang cukup besar dengan mengajarkan sejumlah santri yang cukup banyak tentang kitab-kitab besar.

c. Guru Tarekat
Seorang kyai yang kharismatik selain mengajarkan kitab-kitab klasik, seperti yang telah diterangkan terdahulu, juga mengajarkan praktek tarekat. Pengajaran tarekat di Banten memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebuah “pesantren” tua yang terkenal bernama Karang, yang terletak di sekitar Gunung Karang, sebelah barat kota Pandeglang sekarang diduga telah mengajarkan tarekat Qodariyah. Dalam Serat Centhini, dijelaskan bahwa sang pertapa yang bernama Dandarma, mengaku telah belajar tiga tahun di Karang di bawah bimbingan seorang guru “Seh Kadir Jalena”; yang diduga dimaksudkan ia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd al-Qadir Al- Jailani.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga yang berguru di sebuah perguron di Karang di bawah bimbingan seorang guru yang berasal dari Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. [18] Oleh karena itu wajar apabila para tarekat sudah sangat dikenal di lingkungan istana kesultanan Banten semenjak awal didirikannya kesultanan itu. Pendiri kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin, telah dibai’at untuk menganut dan mempraktekkan wirid tarekat Naqsabandiyah. [19]

d. Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib)
Para kyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat tetapi juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah atau ilmu-ilmu ghaib. Banten hingga kini memiliki reputasi yang cukup dikenal sebagai daerah tempat bersemayamnya ilmu-ilmu gaib sehingga tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapat kekayaan, kedudukan dan perlindungan supranatural serta kedamaian jiwa.

Kyai yang dikenal sebagai guru ilmu hikmah di Banten adalah Ki Armin (K.H. Muhamad Hasan Amin) dari Cibuntu, Pandeglang. Beliau adalah kemenakan dari Kyai Asnawi Caringin, guru tarekat Qodariyyah wa Naqsabandiyah yang sangat terkenal di Banten. Banyak cerita yang tersebar di kalangan rakyat tentang kekuatan-kekuatan ajaib diseputar kyai ini, seperti kemampuannya untuk melihat apa yang belum terjadi, karier yang cepat atau kekayaan yang datang secara tiba-tiba yang terjadi kepada beberapa orang yang telah mendapatkan restunya. Kyai lain yang juga dikenal memiliki ilmu hikmah adalah Ki Dimyati, yang memimpin sebuah pesantren di Cisantri, Pandeglang.



e. Mubaligh
Seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya atau menetap di suatu tempat dan umatnya datang untuk minta nasehat, doa dan kebutuhan praktis lainnya. Kyai juga aktif melakukan ceramah agama kepada masyarakat luas secara berkeliling, sehingga disebut dengan mubâligh (orang yang menyampaikan pesan agama Islam).

Dalam pemberontakan di Cilegon yang terjadi pada tahun 1888, peran para mubâligh sangat penting dalam memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan. Para kyai, yang terdiri dari para guru tarekat, para syarîf dan sayyid, banyak berkhutbah secara berkeliling untuk melakukan pembinaan kerohanian masyarakat. Disadari, hal tersebut turut memberikan pengaruh yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan kerohanian rakyat. [20]

H. Udi Mufrodi, salah seorang kyai, sering memberikan ceramah keagamaan pada berbagai acara keagamaannya di wilayah Banten dan daerah-daerah lain seperti Lampung dan Jakarta. Menurutnya bahwa untuk menjadi penceramah/mubâligh tidak hanya memiliki kemampuan memahami pesan-pesan agama, retorika yang baik tetapi juga harus mampu memahami kehendak masyarakat dan memiliki ilmu-ilmu batin. Sebab, menurutnya menjadi mubâligh itu penuh dengan tantangan, karena mungkin pesan-pesan yang disampaikan itu banyak bersinggungan dengan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.

Peran Sosial Jawara
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten. [21]

Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. [22] Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.


a. Jaro
Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang sering disebut jaro. [23] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. [24] Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). [25]



b. Guru silat
Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang. [26] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. [27] Setiap perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.

c. Guru Ilmu Batin (Magis)
Seorang jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki ilmu “batin” atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal, pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah tulang dan tukang pijit.

Kecenderungan terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi yang melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. [28]

Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya. [29]

d. Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Peran jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan bencana atau kecelakaan.

Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. [30]

Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.

e. Tentara Wakaf dan Khodim Kyai
Peran jawara sebagai “tentara wakaf” ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka biasanya diterjunkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Pada masa Orde Baru “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan pengamanannya di Banten. Bahkan, ketua umumnya sendiri dijadikan pengurus partai politik tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang terjadi di negeri ini pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka sekarang nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi pada partai tertentu. Oleh karena itu, apabila ada tawaran-tawaran untuk menjaga keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka dan menerima tawaran tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik.

Jawara yang sebenarnya adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai “khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang materialistik.

Jaringan & Hubungan Kyai & Jawara
Kedudukan dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau yang sedang dalam transisi, seperti masyarakat Banten, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial yang demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan “solidaritas mekanis.” [31]

Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan adalah ijazah dan kawalat. [32]

Ijazah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Ijazah ini sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Pemberian ijazah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah ijazah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa ijazah dari sang guru ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.”

Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya.


Jaringan Kyai
Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.

a. Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:

1. K.H. Asytari
2. Imam Nawawi
3. Kyai Umar
4. Kyai Arabi
5. Kyai Ali
6. Kyai Jamad
7. Kyai Janta
8. Kyai Masbugil
9. Kyai Masqun
10. Kyai Masnun
11. Kyai Maswi
12. Kyai Tajul Arusy Tanara
13. Maulana Hasanuddin Banten
14. Maulana Syarif Hidayatullah
15. Raja Atamuddin Abdullah
16. Ali Nuruddin
17. Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
18. Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
19. Abdullah Adzmah Khan
20. Amir Abdullah Malik
21. Sayyid Alwi
22. Sayyid Muhammad Mirbath
23. Sayyid Ali Khali’ Qasim
24. Sayid Alwi
25. Imam Ubaidiilah
26. Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
27. Imam Isa al-Naqib
28. Imam Muhmmad Naqib
29. Imam Ali Ardhi
30. Imam Ja’far al-Shadiq
31. Imam Muhammad al-Baqir
32. Imam Ali Zainal Abidin
33. Sayyidina Husain
34. Sayyidatuna Fathimah Zahra
35. Nabi Muhammad Saw.

Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.

b. Guru-Murid
Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] .

Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nabi Muhammad Saw.
2. Ali bin Abi Thalib
3. Husein bin Fatimah Al-Zahra
4. Imam Zainal Abidin
5. Syaikh Muhamad al-Baqir
6. Syaikh Ja’far al-Shadiq
7. Syaikh Musa al-Kadzim
8. Syaikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
9. Syaikh Ma’ruf al-Karkhi
10. Syaikh Sari al-Saqati
11. Syaikh Abi al-Qasim Junayd
12. Sayikh Abu Bakar al-Shibli
13. Syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi.
14. Syaikh Abi al-Faraj al-Tartusi
15. Syaikh Abi Hasan al-Hiraki
16. Syaikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
17. Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani
18. Syaikh Abd al-Aziz
19. Syaikh Muhammad al-Hattaki
20. Syaikh Syams al-Din
21. Syaikh Syaraf al-Din
22. Syaikh Zayn al-Din
23. Syaikh Nur al-Din
24. Syaikh Waliyu al-Din
25. Syaikh Husham al-Din
26. Syaikh Yahya
27. Syaikh Abi Bakr
28. Syaikh Abd al-Rahim
29. Syaikh Ustman
30. Syaikh Kamal al-Din
31. Syaikh Abd al-Fattah
32. Syaikh Murod
33. Syaikh Syams al-Din
34. Syaikh Ahmad Khatib Sambas
35. Syaikh Abdul Karim Tanara
36. K.H. Asnawi
37. K.H. Ahmad Suhari
38. K.H. Khodim

c. Organisasi Massa
Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.

Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain.

Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]

Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
1. K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang
2. K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
3. K.H. Mohammad Nur dari Keramat Watu, Serang.
4. K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang
5. K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
6. K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Keramat Watu Serang.
7. K.H. Ismail dari Keragilan Serang.
8. K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
9. Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
10. Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
11. K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
12. K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.

Jaringan Jawara
Para jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain membangun jaringan yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu, pertemanan dan sebagainya.

Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib.



a. Kekerabatan
Meskipun jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam tradisi kehidupan para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting dalam membina hubungan solidaritas dan pengajaran elmu-elmu kesaktian dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya, dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke orang lain.

Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan dalam kehidupan mereka. Para jawara sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber wawanen (berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3) kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji). [38]

b. Seguru-seelmu
Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau magis, adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan “abah”, yang artinya sama dengan “bapak”. Panggilan itu menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya.

Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguron-perguron persilatan yang masih tetap bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup terkenal karena memiliki jaringan yang cukup besar adalah Trumbu, Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) dan Jalak Rawi.

c. Organisasi Massa
Organisasi yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971, hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama). [39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur tangan pemerintah dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi politik yang ada di wilayah Banten. [40]

Hubungan Kyai dan Jawara
Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. [41]

Kyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]



PENUTUP

Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur kyai dan jawara.

Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Kedua, kyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.

Ketiga, peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang kyai adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Sementara itu, peranan sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan fisik dan “batin,” sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional yang sering dimainkan para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, memiliki signifikansi yang tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan. Tentunya, demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan dibandingkan dengan peranan masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan masyarakatnya

Keempat, jaringan tradisional yang dibangun kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.

Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai. Sebaliknya, kyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.

2. Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap kehidupan sosial di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Hasan Ambary dan Halwany Michrob, “Bandar Banten, Penduduk dan Golongan Masyarakatnya: Kajian Historis dan Arkeologis serta Prospek Masyarakat Banten ke Masa Depan,” dalam Makalah pada Simposium Internasional Kedudukan dan Peranan Bandar Banten dalam Perdagangan Internasional, Gedung DPRD Serang, 9 Oktober 1995.

Aminuddin, Sandji, ”Kesenian Rakyat Banten,” dalam Makalah pada Diskusi Ilmiyah Kedudukan Bandar Banten dalam Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutera, di Serang pada 18-21 Oktober 1993.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. IV, Mizan, Bandung, 1998.

Banten dalam Angka Tahun 2000, Bapeda Propinsi Banten & Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang.

Bellah, Robert N., Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Arisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000.

van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, cet. III, Mizan, Bandung, 1999.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1985.

Ekadjati, Edi S., Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.

Geertz, Cilfford, The Religion of Java, University of Chicago Press, Chicago, 1970.

Guillot, Cluade, The Sultanate of Banten, Gramedia, Jakarta, 1990.

Guillot, Claude, dkk, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 9321-1526, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1996.

Hefner, Robert W., Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A Wisnuhardana & Imam Ahmad, LKiS, Yogyakarta, 1999.

Hobsbbawn, E.J., “Bandit Sosial” dalam Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.

Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999.

Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987.

Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.

Djalil Afif, Abdul dkk., Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khariyah: Suatu Kajian tentang Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan, Laporan hasil penelitian, Fakultas Syari’ah IAIN “SGD” di Serang 1997.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.

Kahin, Audery R., Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, terj. Satyagaha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1990.

Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984.

_________, Modern Indonesia: Tradition and Transformation, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.

Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990.

Lukes, Steven, Emile Durkheim: His Life and Work, Penguin Books, New York, 1981.

Madge, John, The Origins of Scientific Sociology, The Free Press, New York, 1968.

Mansur, Khatib, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi: Catatan Kesaksian Seorang Wartawan, Antara Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

_________ dan Moenthadim, Martin (eds.), Profile Haji Chasan Sochib Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten, Pustaka Antara Utama, Jakarta, 2000.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.

Michrob, Halwany dan Chudari, A. Mudjadid, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993.

Muzakki, Makmun “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.

Rubington, Earl and Weinberg, Martin S., Deviance: The Interactionist Perspective, Macmillan Publishing, New York, 1987.

Short, James F., “Subculture” dalam Adam Kuper and Jessica Kuper (eds.), The Social Science Encyclopaedia, The Macmillan Company and Free Press, New York, 1972.

Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999.

Sunarta, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal,” dalam Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 1997.

Suharto, “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.

_________, Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996.

Suparlan, Parsudi, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama”, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama, Puslitbang Depag RI, Jakarta, 1981.

Steenbrink, Karl A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1984.

­_________, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

Tihami, M.A., “Kyai dan Jawara di Banten,” dalam Tesis Master Univervesitas Indonesia, 1992.

_________, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.

Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company, Belmont, 1998.

Turner, Ralph H., “Social Roles: Sociological Aspects”, dalam International Encyclopaedia of Social Sciences, Macmillan, New York, 1968.

Williams, Michael Charle, Communism, Religion, and Revolt in Banten, Center for International Studies, Ohio University, 1990.

Willner, Ann Ruth dan Willner, Dorothy “Kebangkitan dan Peranan Pemimpin-pemimpin Kharismatik” dalam Sartono Kartodirdjo, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.

Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organization, trans. Henderson and Talcott Parsons, The Free Press, New York, 1966.

Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, LKiS, Yogyakarta, 1999.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.

Sumber situs : http://www.ditpertais.net/

[21] H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.

[22] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 83

[23] Sebenarnya asal-usul kata jaro tidak jelas dan semenjak kapan kata tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu wilayah administrasi pedesaan. Menurut M.A. Tihami bahwa jaro itu berasal dari bahasa Arab “jar” yang artinya tetangga. Sebuah desa Banten pada zaman dulu memang mengelompok dalam suatu daerah tertentu sehingga antar satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah bertetangga (jar). Sehingga suatu daerah yang sudah dihuni oleh banyak keluarga dikenal dengan kejaroan, maka orang yang menjadi pemimpin dari suatu kejaroan tersebut disebut jaro. Lihat M.A. Tihami, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.

[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 81.

[25] Ibid.

[26] Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 25.

[27] Khatib Mansur dan Martin Moenthadim (ed.), op.cit., hlm. 2.

[28] Husein Djayadiningrat, op.cit., hlm. 34.

[29] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), hlm. 157-166.

[30] Sebenarnya memang ada hubungan yang dekat antara tarekat dengan permainan debus, terutama debus al-madad, dalam hal wasîlah atau hadlarat kepada para silsilah syaikh-syaikh sufi dan pengamalan doa-doanya. Lebih jauh lihat Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, dalam Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.

[31] Steven Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work, (New York: Penguin Books, 1981), hlm. 140.

[32] Lihat M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten”, op.cit., hlm. 181.

[33] Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 61-62.

[34] Sumber berasal dari Yayasan Nawawi Tanara Banten.

[35] Jaringan intelektual yang terjalin antara ulama di timur Tengah dengan para ulama di Nusantara terutama pada abad XVII dan XVIII dijelaskan secara komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).

[36] Al-Khaeriyah didirikan oleh K.H. Syam’un berlokasi di Citangkil-Cilegon. Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Abdurahman yang bertempat di Menes Pandeglang. Sedangkan, Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Asnawi di Caringin-Labuan, Pandeglang.

[37] Organisasi masa yang menghimpun para alumni lembaga Al-Khaeriyah kini dipimpin oleh Prof. Dr. H. M.A. Tihami, M.A. yang juga Ketua STAIN “SMHB” Serang.

[38] Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, dalam Disertasi Pada Program Pascasarjana, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1997), hlm. 2002.

[39] Lihat hasil wawancara dengan Haji Tb. Chasan Sochib dalam buku yang disunting oleh Khatib Mansur dan Martin Moentadhim S.M., (eds). op.cit., hlm. 87.

[40] Hasil wawancara dengan Aep, salah seorang pengurus P3SBBI pada 2 Oktober 2002 di Kantor PESBBI, Serang.

[41] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 224. Lihat pula Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, hlm. 131.

[42] Karl D.Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).

[43] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten,” op.cit., hlm. 103.
Diposkan oleh babad banten di 19:43